Pages

Subscribe:

Rabu, 25 Juli 2012

Perjalanan Penuh Hikmah

Share

Part One (Antara Jakarta-Jeddah)

Dalam perjalanan hidup kami berdua, ada satu perjalanan yang paling bermakna dan sarat hikmah. Ya, perjalanan ibadah umroh tanggal 11-22 Maret 2012 yang lalu ke tanah suci mengantarkan kami kembali menapaki jejak langkah perjalahan Rasulullah SAW dalam menegakkan Islam di muka bumi.

Diawali tangal 11 WIB Pukul 07.00 aku dan suami bergegas  menuju Bandara Soekarno Hatta untuk  berkumpul bersama rombongan dari Makara Wisata UI yang berjumlah kurang lebih 40 orang. Dengan taxi dekat rumah yang kami pesan sebelumnya, kami melaju di jalan tol yang kala itu lengang karena memang hari Minggu. Hari libur sehingga jalanan di Jakarta cukup lancar. Akhirnya Pukul 08.00 kami tiba di Bandara, dan di sana sudah cukup banyak peserta rombongan yang berkumpul. Alangkah berseri-serinya wajah kami semua karena sudah membayangkan perjalanan yang akan kami lakukan adalah perjalanan yang tidak biasa.

Setelah rombongan berkumpul dan diberi pengarahan awal oleh ketua rombongan dari Makara, kami pun check in pukul 09.00 sesuai jadwal semula. Direncanakan pukul 11.00 sudah take off, namun ternyata ada keterlambatan dan akhirnya pesawat terlambat hampir 2 jam. Huffh... ternyata baru awal keberangkatan pun, kami sudah harus diuji untuk selalu bersabar menunggu pesawat datang. Akhirnya kurang lebih pukul 13.00 pesawat Yemenia Air yang akan kami tumpangi pun datang. Dengan perasaan  senang  kami pun bergegas masuk ke pesawat. Ya Alloh... rasanya seperti mimpi yang benar-benar nyata. Akhirnya satu dari impian kami berdua untuk melakukan perjalanan ini benar-benar akan terwujud sebentar lagi. Dengan selalu berdoa untuk keselamatan perjalanan kami, pesawat pun akhirnya terbang mengantarkan mimpi kami ke tanah suci.

Setelah perjalanan kurang lebih 1 jam 45 menit, kami transit di Kuala Lumpur. Dengan tetap di dalam pesawat, kami menunggu satu sampai dua jam utk melanjutkan perjalanan menuju tanah yang dinanti.Ternyata di Kuala Lumpur, banyak penumpang dari Malaysia yang juga akan berumroh. Denger-denger katanya akhir-akhir ini banyak orang Malaysia yang lebih memilih melakukan umroh terlebih dulu karena untuk haji perlu waktu yang cukup lama menunggu, bahkan hampir 10 tahun. Subhanalloh... betapa dahsyatnya kekuatan Mekah Almukarromah dengan Ka’bah nya yang mampu menarik umat muslim untuk  mengunjunginya.

Pesawat kami rencananya transit di Dubai sebelum akhirnya mendarat di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Berangkat dari KL menuju Dubai memerlukan waktu kurang lebih 7-8 jam penerbangan non stop. Waktu yang cukup panjang untuk sebuah perjalanan paling dinanti. Untuk mengusir kejenuhan dalam perjalanan, banyak yang kami lakukan, mulai dari sekedar melihat-lihat pemandangan luar (meskipun cuma sekumpulan awan di langit), baca buku, berbagi cerita, foto-foto di pesawat, merekam perjalanan, sampai bolak balik ke toilet sebagai exercise badan biar gak terlalu pegel-pegel. Yang pasti tak lupa untuk selalu berdoa memohon keselamatan kepada Penguasa Alam agar diberi keselamatan.

Saat perjalanan terbang dari Indonesia menuju Dubai, ada satu fakta tentang Indonesia yang terbukti benar. Ternyata orang Indonesia memang ramah-ramah. Hal itu terbukti dari pelayanan para pramugari Yemenia Air. Pramugari dari Indonesia sangat ramah jika dibandingkan dengan pramugari dari Yaman sendiri. Mereka selalu melayani dengan senyum penuh kehangatan. Ada satu pramugari yang paling berkesan, namanya mbak Amel. Dia ramah sekali dan selalu berbicara dengan sopan dan penuh keakraban. Saat suamiku minta air putih satu botol, langsung diberinya dengan senang hati. Terimakasih mbak Amel.. dengan senyum dan keramahannya, perjalanan kami jadi menyenangkan.

Akhirnya sekitar pukul 01 tengah malam waktu Dubai, kami pun mendarat di Bandara Dubai untuk transit dan ganti pesawat. Saat turun dari pesawat, satu hal yang terasa adalah dinginnya udara malam di sana. Brrr... entah berapa derajat udara saat itu. Saat menaiki bis khusus penumpang, badan kami menggigil karena terpapar udara malam dan dinginnya angin malam di Dubai. Alhamdulillah, meski sesaat kami telah menghirup udara dan menginjakkan kaki di Dubai, Uni Emirat Arab. Kalau dilihat, sepertinya bandaranya tidak terlalu besar, bahkan lintasannya pun cukup pendek. Fasilitasnya pun biasa saja, sepertinya kalah dengan Bandara Soetta di Indonesia. Hal ini membuatku semakin cinta Indonesia.

Setelah menunggu kurang lebih 2 jam, kami pun naik ke pesawat jenis Boeing yang lebih kecil menuju ke Sanaa, Yaman untuk transit kembali.  Di Bandara kami menunggu sambil beristirahat sejenak dengan melihat-lihat sekeliling. Kondisinya ternyata masih di bawah standar untuk ukuran bandara Internasional. Yaman memang negara termiskin di antara negara-negara kaya di Timur Tengah. Menurut informasi, Yaman tidak memiliki kekayaan alam seperti negara-negara tetangganya, sehingga kondisinya masih berada di bawah kemiskinan. Bersyukur sekali menjadi orang Indonesia dengan kekayaan alamnya yang begitu berlimpah. Sayang... kekayaan itu belum dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, bahkan sebagian hilang begitu saja diambil negara lain tanpa kita menyadarinya. Meskipun begitu, aku tetap cinta Indonesia. Kadang informasi yang kita peroleh dari TV atau media cetak terasa kurang adil, sering disebutkan Bandara Internasional Soekarno Hatta tidak layak lah, kurang terawat lah, dan berita-berita negatif lainnya. Ternyata jika dibandingkan dengan Bandara di Yaman atau Dubai sekalipun, Bandara Soetta masih juara.

Menunggu, dan selalu menunggu... Itulah resikonya naik pesawat ekonomi. Kenyamanan memang ada harganya. Tapi, semua itu kami jalani dengan penuh sukacita karena perjalanan ini bukanlah perjalanan biasa tapi perjalanan yang sangat istimewa menuju ke tanah suci, tanah yang sangat didamba oleh setiap muslim untuk mengunjunginya. Tak terasa waktu menunjukkan pukul 04 dini waktu Sanaa, kami pun terbang menuju Jeddah, dan diperkirakan perjalanan satu jam kami sampai di Bandara King Abdul Aziz. Saat di pesawat, kami mencoba tidur sejenak untuk istirahat menjaga kondisi fisik yang memang cukup lelah. Alhamdulillah akhirnya kami mendengar pemberitahuan bahwa pesawat sesaat lagi akan mendarat di Bandara King Abdul Aziz. Tak sabar rasanya aku ingin segera turun dari pesawat dan menghirup udara bebas sepuas-puasnya sambil terus bersyukur karena telah diberi kesempatan untuk perjalanan ini. Sekitar pukul 05.00 waktu Jeddah, kami pun mendarat dengan selamat dan mulus. Alhamdulillah, seperti mimpi rasanya kami berdua telah sampai di Jeddah, dan tinggal sesaat lagi kami tiba di tanah impian.  

Dipimpin oleh ketua rombongan kami, Ustadz Haddi dari Makara UI, kami pun dikumpulkan untuk diberi pengarahan mengenai perjalanan ini. Kami antri berbaris di belakang mahram masing-masing untuk diperiksa semua kelengkapan dokumen perjalanan yang kami bawa. Aku pun antri di belakang suamiku, dan bagi jamaah perempuan yang tidak disertai mahramnya, Ustadz Haddi mengaturnya dengan membagi kepada jamaah laki-laki lainnya. Alhamdulillah pemeriksaan berjalan lancar, dan kami pun berkumpul di ruang tunggu bandara untuk koordinasi. Tak lupa kami melaksanakan shalat subuh seraya berucap syukur tiada henti atas nikmat dan keselamatan yang telah Allah berikan. Alhamdulillah wa syukurrillah....

Selama dalam perjalanan, aku tak pernah jauh dari suamiku tercinta. Dimana ada aku, di situlah suamiku berada. Alhamdulillah.. aku mendapatkan seorang suami sholeh yang selalu menjaga dan melindungi diriku, ehemmm... Perjalanan ini memberikan romantisme tersendiri untuk aku dan suamiku, seperti perjalanan bulan madu ke sekian kali setelah hampir sembilan tahun kami menikah. Perjalanan ini pun membawa misi dan harapan kami berdua untuk segera memiliki momongan yang belum hadir dalam kehidupan kami. Insya Allah, dengan penuh keyakinan dan harapan, kami selalu memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk mengabulkan permohonan kami ini. Aamiin Ya Rabbal Aa’lamiin...

Saat berada di Bandara King Abdul Azia, kami disambut oleh Ustadz Arif yang merupakan pembimbing kami dari Makara UI yang telah menunggu kedatangan kami dari Jakarta. Beliau telah tinggal di Madinah untuk menuntut ilmu, dan diantara waktu senggangnya beliau selalu membantu para jamaah dari Indonesia untuk membimbing perjalanan umroh ataupun perjalanan lainnya di Mekah dan Madinah. Dengan ramah dan penuh kehangatan, sambutan Ustadz membuat kami semakin bersemangat untuk segera melanjutkan perjalanan ke Madinah dan Mekah. Namun, saat kami akan keluar dari Bandara, rombongan diminta untuk menyerahkan paspor kami kepada petugas bandara, entah apa lagi yang akan diperiksa. Ternyata oh ternyata... paspor ditahan oleh petugas dengan beribu macam alasan, sehingga perjalanan kami pun sedikit tertunda. Ustadz Haddi dan Ustadz Arif dengan sigap mengurus masalah tersebut. Ujung-ujungnya setelah menerima amplop, petugas menyerahkan kembali paspor kami. Oow... gak di Indonesia, gak di Arab, urusan pungli dan minta amplop sebagai pelicin kerap terjadi. Ironis sekali, di negeri Arab yang notabene negeri muslim, kejadian seperti itu biasa terjadi, dan yang lebih ironis lagi ternyata kondisi tersebut bermula dari kebiasaan orang Indonesia yang selalu memberi amplop kepada petugas saat mengurus suatu keperluan. Jika informasi itu benar, sungguh aku malu jadi orang Indonesia yang menyuburkan praktek-praktek pungli seperti itu. Satu misi lagi aku bawa dalam do’aku nanti di tempat mustajab, agar negeriku Indonesia menjadi negeri yang aman, makmur, dan damai, dan semoga para pemimpinnya dapat memegang kekuasaan dengan amanah, dan selalu membawa kami pada kebaikan, tidak hanya kebaikan di dunia namun juga kebaikan di akhirat, aamiin...

Dengan penuh kesabaran, kami menunggu negosiasi antara ketua rombongan dengan petugas bandara. Andaikan aku mengerti bahasa Arab, mungkin seru yang tawar menawar harganya, he... (seperti di pasar ya?..). Alhamdulillah.. akhirnya setelah kami menunggu kurang lebih satu jam, paspor kami dikembalikan oleh petugas, tentu tidak dengan gratis. Entah berapa real yang berhasil mereka peroleh dari praktek pungli ini. Mmmh... satu lagi pengalaman berharga aku dapatkan dari perjalanan ini.

Waktu menunjukkan pukul 8 pagi waktu Jeddah, membawa bis yang kami tumpangi menuju tanah Madinah, tanah dimana Nabi Muhammad menggoreskan sejarah perjalanan perkembangan agama Islam. Tak sabar rasanya aku ingin segera menapakkan kaki dan menghirup udara  Madinnah. Perlu waktu kurang lebih 2 jam untuk sampai di sana. Alhamdulillah... sesaat lagi aku sampai di tanah impianku. Madinnah.... I’m comming..   (bersambung....)